Hukum Perampasan Tanah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ ظَلَمَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ، طَوَّقَهُ الله مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari Aisyah RA, bahwasannya Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa berbuat zhalim walaupun hanya (dengan mengambil) sejengkal tanah, maka pada hari kiamat nanti Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya.” (Muttafaq ‘Alaih)
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ زَيْدَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ: قَال رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعٍ أَرَضِيْنَ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari Sa’id bin Zaid RA, ia berkata,”Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa merampas sejengkal tanah secara zhalim, maka pada hari kiamat nanti Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya.” (Muttafaq ‘Alaih)
وَفِيْ لَفْضٍ لِأَحْمَدَ: مَنْ شَرَقَ.
Dalam lafazh Ahmad yang lainnya disebutkan dengan redaksi:
“Barangsiapa mencuri”
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ، طَوَّقَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ. (رَوَاهُ أَحْمَدُ)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa mengklaim sejengkal tanah yang bukan haknya, maka pada hari kiamat nanti Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya.” (HR. Ahmad)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَخَذَ مِنَ الْأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ، خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعٍ أَرَضِيْنَ. (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْبُخَارِيُّ)
Dari Ibnu Umar RA< ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, :Barangsiapa mengambil tanah yang bukan haknya walaupun sedikit, maka pada hari kiamat nanti ia akan ditenggelamkan ke dalam tujuh lapis bumi.” (HR. Ahmad dan Al Bukhari)
عَنِ الْأَشْعَثِ بْنِ قَيْسٍ: أَنَّ رَجُلًا مِنْ كِنْدَةَ وَرَجُلًا مِنْ حَضْرَمَوْتَ اخْتَصَمَا إِلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَرْضٍ بِالْيَمَنِ. فَقَالَ الْحَضْرَمِيُّ: يَا رَسُوْلُ اللهِ، أَرْضِيْ اغْتَصَبَهَا هَذَا وَأَبُوْهُ. فَقَالَ الْكِنْدِيُّ: يَا رَسُوْلُ اللهِ، أَرْضِيْ وَرِثْتُهَا مِنْ أَبِيْ. فَقَالَ الْحَضْرَمِيُّ: يَا رَسُوْلُ اللهِ، اسْتَحْلِفْهُ أَنَّهُ مَا يَعْلَمُ أَنَّهَا أَرْضِيْ وَأَرْضُ وَالِدِيْ اغْتَصَبَهَا أضبُوْهُ. فَتَهَيَّأَ الْكِنْدِيُّ لِلْيَمِنِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُ لاَ يَقْتَطِعُ عَبْدٌ أَوْرَجُلٌ بِيَمِيْنِهِ مَالاً إِلاَّ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ يَلْقَاهُ وَهُوَ أضخْذَمُ. فَقَالَ الْكِنْدِيُّ: هِيَ أَرْضُهُ وضأَرْضُ وَالِدِهِ. (رَوَاهُ أَحْمَدُ)
Dari Al Asy’ats bin Qais bahwa seorang laki-laki dari Kindah dan seorang laki-laki dari Hadhramaut mengadukan perselisihan mereka kepada Rasulullah SAW mengenai sebidang tanah di Yaman. Orang Hadhrami berkata, “Wahai Rasulullah, tanahku telah dirampas oleh orang ini dan ayahnya.” Orang Kindi pun berkata, “Wahai Rasulullah, aku mewarisinya dari ayahku.” Orang Hadhrami berkata, “Wahai Rasulullah, suruhlah agar bersumpah bahwa ia tidak mengetahui kalau itu adalah tanahku dan tanah ayahku yang telah dirampas oleh ayahnya.”Lalu orang Kindi itu hendak mengucapkan sumpahnya, namun Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, tidaklah seorang hamba atau seorang laki-laki mengklaim harta (orang lain), kecuali ia akan bersumpah dengan Allah dalam keadaan buntung – pada saat ia berjumpa dengan-Nya.” Maka orang Kindi itu berkata, “Tanah itu tanahnya dan tanah ayahnya.” (HR. Ahmad)
Pensyarah Rahimakumullah Ta’ala mengatakan: Sabda beliau (Barangsiapa berbuat zhalim walaupun hanya (dengan mengambil sejengkal tanah), dalam riwayat Al Bukhari disebutkan dengan redaksi: “mematok sejengkal tanah”. Seolah-olah beliau mengisyaratkan bahwa sejengkal tanah itu adalah kadar yang sangat sedikit, namun ancamannya sangat besar. Hadits-hadits di atas menunjukkan besarnya siksaan kezhaliman dan perampasan, dan bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan yang odsa besar. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa barang tambang menjadi hak pemilik tanah, sehingga si pemilik berhak melarang orang lain menambang atau menggali di bawah tanahnya. Disebutkan dalam Al Fath: Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki tanah, maka ia juga memiliki apa yang dibawahnya (yang dikandungnya) hingga akhir tanah, dan ia berhak melarang orang lain membuat galian di bawahnya tanpa kerelaannya. Hadits ini juga menunjukkan, bahwa orang yang menjadi pemilik permukaan tanah, maka ia juga sebagai pemilik apa yang dikandungnya, yaitu berupa bebatuan, barang tambang dan sebagainya, dan ia berhak untuk membuat galian pada tanahnya sesukanya selama tidak menimbulkan madharat terhadap tanah sebelahnya. Hadits yang mengisahkan orang Hadhrami dan orang Kindi insya Allah akan dibahas pada bahasan tentang sumpah. Hadits ini menunjukkan bahwa bila diminta untuk bersumpah, maka sumpah itu berlaku. Dan Hakim hendaknya menasihati orang yang hendak bersumpah.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خُدَيْخٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ زَرَعَ فِيْ أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ، فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ، وَلَهُ نَفَقَتُهُ (رَوَا هُ الْخَمْسَةُ أِلاَّ النَّسَائِيَّ، وَقَالَ الْبُخَارِيُّ: هُوَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ)
Dari Rafi’ bin Khudaif RA. Bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa menanami tanah milik suatu kaum tanpa seizin mereka(pemiliknya), maka ia tidak berhak sedikitpun terhadap tanaman itu, dan ia berhak terhadap biayanya.” (HR. Imam yang lima kecuali An-Nasa’i, Al Bukhari mengatakan, “Hadits Hasan.”)
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ. قَالَ: لَقَدْ أَخْبَرَنِي الَّذِيْ حَدَّثَنِيْ هَذَا الْحَدِيْثَ، أَنَّ رَجُلَيْنِ اخْتَصَمَا إِلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، غَرَسَ أَحَدُهُمَا نَخْلاً فِيْ أَرْضِ الآخَرَ. فَقَضَى لِصَاحِبِ الْأَرْضِ بِأَرْضِهِ، وَأَمَرَ صَاحِبَ النَّخْلِ أَنْ يُخْرِجَ نَخْلَهُ مِنْهَا. قَالَ: فَلَقَدْ رَاَيْتُهُ، وَإِنَّهَا لَتُضْرَبُ أُصُوْلُهَا بِلْفُؤُسِ، وَإِنَّهَا لَنَخْلٌ عَمٌّ. (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالدَّارَقُطْنِيُّ)
Dari Urwah bin Az-Zubair, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menghidupkan tanah (menanami lahan mati yang tak bertuan), maka tanah itu menjadi miliknya, sedangkan perampas tidak berhak atas apa-apa.” Ia mengatakan, “Orang yang menceritakan hadits ini kepadaku telah memberitahuku, bahwa ada dua laki-laki yang bersengketa lalu mengadu kepada Rasulullah SAW, yang mana salah satunya telah menanam pohon kurma di tanah milik yang satunya lagi. Lalu beliau memenangkan si pemilik tanah karena tanahnya dan memerintahkan si pemilik pohon untuk mengeluarkan pohonnya ari tanah itu. “Ia melanjutkan, “Aku telah melihatnya, pohon itu telah ditebang dengan kapak, sungguh itu pohon kurma tinggio yang telah tumbuh sempurna.” (HR. Abu Daud dan Ad-Daraquthni)
Pensyarah Rahimakumullah Ta’ala mengatakan: sabda beliau (maka ia tidak berhak sedikitpun terhadap tanaman itu, dan ia berhak terhadap biayanya) menunjukkan bahwa orang yang merampas tanah orang lain lalu menanaminya adalah seperti orang yang menanaminya untuk si pemilik tanah, makaa si perampas berhak menerima biaya tanaman dati memilik tanah. At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini diamalkan oleh sebagian ahli ilmu. Demikian menurut pendapat Ahmad dan Ishaq. “Ibnu Ruslan mengatakan, “Ahmad berdalaih dengan hadits ini dalam menyatakan bahwa barangsiapa menanam benih di tanah milik orang lain, lalu si pemilik tanah meminta tanahnya, maka ada dua laternatif: pemilik tanah meminta pengembalian tanahnya dan mengambilnya setelah panen, atau meminta pengembalian tanahnya sementara tanamannya tetap berada di tanahnya. Bila ia mengambilnya setelah panen, maka tanaman itu milik si perampas, tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini, karena itu adalah pengembangan hartanya. Dan ia berkewajiban membayar sewa tanah ketika menyerahkannya serta bertanggung jawab atas pengurangan tanahnya dan meratakannya kembali. Bila si pemilik mengambilnya dari si perampas ketika tanaman masih di tanahnya, maka ia tidak boleh memaksa si perampas untuk menebangnya, demikian menurut Abu Ubaid. Sedanhkan menurut Asy-Syafi’i dan mayoritas ahli fiqih, bahwa pemilik tanah berhak memaksa si perampas untuk menebangnya. Mereka berdalih dengan sabda Nabi SAW, “sedangkan perampas tidak berhak atas apa-apa”. Menurut mereka bahwa tanaman itu menjadi hak si pemilik benih, dan ia wajib membayar sewa tanah. Hadits “sedangkan perampas tidak berhak atas apa-apa” berkaitan dengan pohon yang sudah besar, sedangkan Rafi’ berkenaan dengan penanaman benih, sehingga kedua hadits ini diamalkan sesuai dengan kondisinya.”
Sabda beliau Lalu beliau memenangkan si pemilik tanah...dst.) menunjukkan bolehnya menetapkan terhadap orang yang memnanami tanah milik orang lain tanpa seizinnya untuk menebangnya.
Disebutkan di dalam Al Ikhtiyarat: Bila Muzara’ah atau musaqah atau Mudharabah gagal, maka pekerja berhak memperoleh bagian standar, yaitu yang biasa berlaku terhadap orang yang sepertinya, bukan upah standar. Bila pada kasus perampasan tanah kami mengatakan, bahwa bila ia menanamnya untuk pemilik tanah, maka pemilik tanah menanggung biayanya, maka kami pun mengatakan demikian pada muzara’ah yang gagal, karena tanaman itu menjadi milik si pemilik tanah, apalagi bila benihnya dari orang lain (penggarap).
Referensi
Alu Mubarak, Syaikh Faizal bin Abdul Aziz. 2006. Mukhtashar Nailul Authar. Jakarta: Pustaka Azzam. Hal: 238-243
Tidak ada komentar:
Posting Komentar