Sujud Tilawat dan Sujud Syukur
Sujud Tilawat
Ø “Sujud tilawat disunnatkan bagi yang membaca dan mendengar ayat sajdah”
Pendapat ini disetujui Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah : sujud tilawat itu wajib.
Ø “Pendengar yang tidak sengaja mendengarkan bacaan yang sedang dibaca oleh orang membaca, tidak begitu kuat disunnatkan bersujud”.
Pendapat ini disetujui Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah : wajib juga bersujud.
Ø “Sujud tilawat (ayat sajdah) berjumlah empat belas. Dalam surat al-Haj terdapat dua ayat Sajdah.”
Pendapat ini disetujui Ahmad dan Malik dalam satu riwayat. Kata Abu Hanifah dan Malik dalam riwayat yang lain: dalam surat al-Haj hanya satu saja ayat Sajdah (yakni yang pertama).
Ø “Sujud dalam surat Shad, adalah sujud syukur, baik dikerjakan di luar sembahyang.”
Pendapat ini disetujui Ahmad dalam suatu riwayat daripadanya. Kata Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dalam riwayat yang lain : bukan sujud syukur, hanya sujud tilawat.
Ø “Dalam surat Al Mufasshal terdapat tiga Sajdah. Yakni dalam surat An Najm, Al Insyiqaq dan Al ‘Alaq.”
Malik berpendapat bahwa tidak ada Sajdah dalam surat Al Mufasshal.
Ø “Sepuluh Sajdah terdapat dalam surat-surat : Al A’raf, Ar Ra’du, An Nahl, Subhana, Al Haj (yakni yang pertama), Al Furqan, An Naml, Alif Lam Mim tanzilus sajdah, Hamim, Fushilat.”
Ini disepakati oleh imam yang tiga lagi. Kata Ishaq ibn Rahawaih : ayat Sajdah itu 15, yaitu dengan menambah Sajdah dalam surat Shad.
Ø “Apabila seseorang membaca ayat Sajdah di luar sembahyang, sedang yang mendengarnya dalam bersembahyang, tidaklah dituntut yang mendengar itu bersujud, baik dalam bersembahyang ataupun sesudahnya.”
Pendapat ini disetujui oleh Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah : dia bersujud sesudah bersembahyang.
Ø “Diisyaratkan untuk sujud tilawat segala yang diisyaratkan untuk sembahyang.”
Pendapat ini disepakati oleh imam empat. Dalam pada itu menurut pentahqiqan Al Imam Ibn Jarir, tidak disyaratkan untuk sujud sembahyang. Ibnu Hazm juga berpendapat begini :
Ø “Sujud tidak dapat diganti dengan ruku’, yakni tidak cukup dikerjakan sekedar ruku’.”
Pendapat ini disetujui oleh Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah : ruku’ dapat menggantikan sujud.
Ø “Tidak dimakruhkan imam membaca ayat Sajdah dalam sembahyang.”
Pendapat ini disetujui oleh Malik. Kata Abu Hanifah : makruh imam membaca dalam sembahyang sir, tidak dalam sembahyang jahr. Ahmad juga berpendapat demikian. Bahkan Ahmad menambahkan : kalau imam membaca secara sirr, janganlah ia sujud.
Ø “Apabila imam bersujud untuk tilawat lalu makmum tidak mau mengikutinya,batallah sembahyang makmum itu, sama dengan makmum tidak mengerjakan qunut.”
Demikian pendapat Asy Syafi’ie
Ø “Sujud tilawat yang dikerjakan di luar sembahyang dengan bertakbir untuk turun kepada sujud dan bertakbir waktu mengangkatkan kepala dari sujud, lalu bersalam dengan tidak bertasyahhud.”
Pendapat ini disetujui Ahmad. Kata Abu Hanifah; bertakbir untuk bersujud dan mengangkat kepala dengan tidak bersalam. Malik sependapat dengan Abu Hanifah.
Ø “Apabila ayat Sajdah dibaca dalam keadaan tidak suci, kemudian berwudhu’, tidaklah lagi dia disuruh bersujud.”
Demikian pendapat Syafi’i. Dalam pada itu sebagian ulama Asy Syafi’I menyunatkan orang tersebut pergi berwudhu, lalu bersujud.
Ø “Sujud yang pertama tidak mencukupi untuk ayat Sajdah yang kedua.”
Menurut Abu Hanifah cukup.
Sujud Syukur
Ø “Disukai bagi orang yang memperoleh nikmat atau terhindar dari bencana sesuatu bencana, bersujud kepada Allah.”
Kata Ath Thawiy: Abu Hanifah tidak menyunnatkan sujud syukur. Malik tidak menyukai jika dikerjakan dalam sembahyang. Al Qadli Abdul Wahab, membolehkan.
Ø “Disukai apabila seseorang membaca ayat rahmat, membolehkan kepada Allah , dan apabila melalui ayat-ayat azab, memohon perlindungan kepada Allah.”
Menurut Abu Hanifah tidak disukai dilakukan yang demikian dalam sembahyang.
Sumber: Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam.1997.Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar