Jumat, 25 November 2011

Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Meneliti sejarah bangsa Indonesia tidak akan lepas dari umat islam, baik dari perjuangan melawan penjajah maupun dalam lapangan pendidikan. Melihat kenyataan betapa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam mencapai keberhasilan dengan berjuang secara tulus ikhlas mengabdikan diri untuk kepentingan agamanya disamping mengadakan perlawanan militer
Perlu diketahui bahwa sejarah pendidikan islam di Indonesia mencakup fakta-fakta atau kejadian –kejadian yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam di Indonesia, baik formal maupun non formal. Yang dikaji melalui pendekatan metode oleh sebab itu pada setiap disiplin ilmu jelas membutuhkan pendekatan metode yang bisa memberikan motivasi dan mengaktualisasikan serta memfungsikan semua kemampuan kejiwaan yang material, naluriah, dengan ditunjang kemampuan jasmaniah, sehingga benar-benar akan mendapatkan apa yang telah diharapkan.
2.      Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pendidikan islam pada masa penjajahan belanda?
  2. Bagaimana pendidikan islam pada masa penjajahan jepang?
  3. Bagaimana peranan organisasi keagamaan dalam pendidikan islam?

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda
Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1.      Pendidikan Dasar
2.      Sekolah Latin
3.      Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
4.      Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
5.      Sekolah Cina
6.      Pendidikan Islam[1]
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
1)      Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu.
2)      Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial.
3)      Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.
4)      Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.
Maka pada tahun 1901 muncullah apa yang disebut dengan politik ETIS yakni politik balas budi bangsa Belanda kepada Indonesia. Pencetus politik ini adalah Van Deventer, yang kemudian politik ini dikenal juga dengan Trilogi Van Deventer. Secara umum isi dari politik ETIS ini ada tiga macam yaitu, Education (pendidikan), Imigrasi (perpindahan penduduk) dan Irigasi (pengairan). Yang akan dikupas adalah mengenai education atau pendidikan.[2]
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut:
1)      Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan.
2)      Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.
3)      Pendidikan tinggi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan islam pada zaman kolonial belanda tidak mendapat rintangan.hal ini ditandai dengan bermunculanya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturienya tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin kalau kesadaran dari pihak islam telah timbul untuk tidak bekerja pada belanda yang telah menjadi perintang kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang msih berlaku sampai sekarang sehingga orang-orang islam kurang berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu penyebabnya adalah melemahnya kekuatan politik islam walaupun islam di indonesia mencapai jumlah yang sangat banyak.[3]
2.      Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang
Pendidikan islam zaman penjajahan jepang dimulai pada tahun 1942-1945, sebab bukan hanya belanda saja yang mencoba berkuasa di Indonesia. Dalam perang pasifik (perang dunia ke II), jepang memenangkan peperangan pada tahun 1942 berhasil merebut indonesia dari kekuasaan belanda. Perpindahan kekuasaan ini terjadi ketika kolonial belanda menyerah tanpa syarat kepada sekutu.[4] Penjajahan jepang di indonesia mempunyai konsep hokko ichiu (kemakmuran bersama asia raya) dengan semboyan asia untuk asia.[5] Jepang mengumumkan rencana mendirikan lingkungan kemakmuran bersama asia timur raya pada tahun 1940. Jepang akan menjadi pusat lingkungan pengaruh atas delapan daerah yakni: manchuria, daratan cina, kepuluan muangtai, malaysia, indonesia, dan asia rusia. Lingkungan kemakmuran ini disebut dengan hakko I chi-u (delapan benang dibawah satu atap).
Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1.      Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda
2.      Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
1.      Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
2.      Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
3.      Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
4.      Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
5.      Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
6.      Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.[6] Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Kepercayaan jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat islam untuk bagkit memberontak melawan jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman jepang umat islam mempunya kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan islam, sehingga tanpa disadari oleh jepang sendiri bahwa umat islam sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah. Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1)   Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2)   Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
3)   Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4)   Pendidikan Tinggi.[7]
Disini beberapa tujauan pendidikan islam ketika zaman penjajahan antara lain:
a.    azaz tujuan muhamadiyah: mewujudkan masyarakat islam yang sebenarnya dan azaz perjuangan dakwah islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar
b.   INS (Indonesische Nadelanshe School) dipelopori oleh Muhammad syafi’i 1899-1969 bertuan memdidik anak untuk berpikir rasional, mendidik anak agar bekerja sungguh-sungguh, membentuk manusia yang berwatak dan menanam persatuan.
c.    Tujuan Nahdlatul Ulama’, sebelum menjadi partai politik memgang teguh mahzab empat, disamping mejadi kemaslahatan umat islam itu sendiri.
Kesimpulanya ialah bahwa tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan rasa keislaman yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membelah bangsa dan tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun kemerdekaan secara manusiawi.
3.      Peranan Organisasi Keagamaan dalam Pendidikan Islam
Munculnya organisasi Islam pertama kali di Indonesia adalah sebagai upaya untuk melaksanakan ajaran Islam dan mencerdaskan bangsa.  Salah satu program yang dijalankan oleh setiap organisasi Islam yaitu pada bidang pendidikan.  Beberapa organisasi Islam di masa penjajahan yaitu :
1.      Jamiatul Khair
Al-Jamiatul Khairiyah yang lebih dikenal dengan Jamiatul Khair didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905 yang beranggotakan mayoritas kalangan Arab. Program utamanya adalah pendirian dan pembinaan sekolah tingkat dasar serta pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pendidikan namun program ini memiliki hambatan karena kekurangan dan kemunduran kekhalifahan.[8]
Tampilnya Jamiatul Khair sebagai organisasi kegamaan berorintasi pada pembaharuan pendidikan Islam terasa sangat penting karena organisasi ini merupakan organisasi modern dalam masyarakat Islam.  Kemoderenan organisasi ini terlihat dalam anggaran dasar mata pelajaran yang diajarkan bersifat umum, keseluruhan kegiatannya didasarkan pada sistem Barat.
2.      Al Irsyad
Al-Irsyad adalah pecahan dari Jamiatul Khair. Al Irsyad mempunyai tujuan utama yaitu pertama merubah tradisi dan kebiasaan orang-orang Arab tentang kitab suci, bahasa Arab, bahasa Belanda dan bahasa lainnya. Kedua membangun dan memelihara gedung-gedung pertemuan sekolah dan unit percetakan.
Salah satu perubahan yang dilakukan Al Irsyad adalah pembaharuan di bidang pendidikan.  Pada tahun 1913 didirikan sebuah perguruan modern di Jakarta dengan sistem kelas materi pelajaran yang diberikan adalah pelajaran umum di samping pelajaran agama.  Sekolah Al-Irsyad mempunyai cabang dan semuanya berada di tingkat dasar.
3.      Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 10 November 1912 bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1330 H oleh K.H. Ahmad Dahlan.  Muhammadiyah merupakan organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan kemasyarakatan.  Tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah untuk membebaskan umat Islam dari kebekuan dalam segala bidang kehidupan dan praktek agama yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam.
Sebagai organisasi dakwah dan pendidikan, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat dasar samapai perguruan tinggi.  Muhammadiyah memulai pendirian sekolah dasar pada tahun 1915 di mana pada sekolah tersebut diajarkan pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Pada tahun 1929, Muhammadiyah telah menerbitkan 700.000 buah buku dan brosur.  Pada tahun 1938 telah memiliki 31 perpustakaan umum dan 1774 sekolah.[9]
Muhammadiyah saat ini sebagai organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang dakwah dan pendidikan mengalami kemajuan pesat hampir di setiap daerah berdiri lembaga pendidikan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi.  Di samping itu, Muhammadiyah mendirikan masjid dan rumah sakit untuk masyarakat.
4.      Persatuan Islam (PERSIS)
Persatuan Islam (PERSIS) didirikan secara resmi pada tanggal 12 September 1923 di BAndung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus.  Berbeda dengan organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20, PERSIS mempunyai ciri khas tersendiri di mana organisasi ini di samping pendidikan juga dititikberatkan pada pembentukan faham keislaman.
Perhatian PERSIS terutama dalam menyebarkan cita-cita dan pikirannya, ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan-pertemuan bersama tokoh-tokoh PERSIS, melakukan khotbah-khotbah, membentuk kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah, menerbitkan dan menyebarkan majalah dan kitab.[10]
5.      Nahdatul Ulama (NU)
Nahadatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada tanggal 13 Januari 1926 yang dipelopori oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah, sebagai perluasan dari komite hijaz yang dibangun untuk dua maksud yaitu pertama untuk mengimbangi komite khilafah yang secara berangsur-angsur  jatuh ke tangan golongan pembaharu. Kedua, untuk berseru kepada Ibnu Sa’ad penguasa baru di tanah Arab agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan.
Pada awalnya, organisasi ini tidak mempunyai rencana yang jelas kecuali yang bersangkutan dengan masalah pergantian kekuasaan di Hijaz. Tahun 1927 baru tujuan organisasi dirumuskan, di mana organisasi ini memperkuat dan memformulasikan salah satu Madzhab (empat madzhab) untuk melakukan kegiatan yang umumnya berdasarkan ajaran Islam. Kegiatan ini meliputi usaha untuk memperkuat persatuan di kalangan ulama yang berpegang teguh pada Madzhab, pengawasan terhadap pemakaian kitab-kitab di pesantren serta penyebaran agama Islam.
Nahdatul Ulama memberikan perhatian yang besar kepada pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaannya.  Pada awal berdirinya, NU tidak membicarakan secara tegas tentang pembaharuan pendidikan namun demikian NU juga pada dasarnya dalam pembaharuan pendidikan.
Dari uraian yang telah dikemukakan tentang persoalan pendidikan Islam, atas peran dan fungsi organisasi beragama yang lahir untuk membumikan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat muslim pada khususnya.  Hal ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Kondisi Pendidikan Islam pada masa penjajahan cukup banyak mendapat tekanan dari pihak penjajah namun dengan semangat jiwa patriotisme dan semangat jihad di jalan Allah yang dimiliki oleh para pejuang Islam mampu melawan penjajah dengan berbagai cara termasuk penyelenggaraan pendidikan Islam sesuai dengan organisasi keagamaan yang telah dibentuk masing-masing tokoh pendidikan tersebut.
  2. Latar belakang munculnya pendidikan Islam di Indonesia akibat adanya desakan penjajah untuk membatasi gerakan keagamaan dalam bidang pendidikan, di samping itu juga munculnya gerakan pembaharuan pemikiran keagamaan dari tokoh Islam.
  3. Pendidikan Islam sesudah merdeka mendapat perhatian dari Pemerintah terbukti dari segi kualitas dan kuantitas pendidikan, dalam sarana penunjang keberhasilan pendidikan.


BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Pendidikan islam pada zaman kolonial belanda tidak mendapat rintangan.hal ini ditandai dengan bermunculnya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturienya tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin kalau kesadaran dari pihak islam telah timbul untuk tidak bekerja pada belanda yang telah menjadi perintang kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang msih berlaku sampai sekarang sehingga orang-orang islam kurang berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu penyebabnya adalah melemahnya kekuatan politik islam walaupun islam di indonesia mencapai jumlah yang sangat banyak.
Pada masa jepang tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan rasa keislaman yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membelah bangsa dan tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun kemerdekaan secara manusiawi
Dari uraian yang telah dikemukakan tentang persoalan pendidikan Islam, atas peran dan fungsi organisasi beragama yang lahir untuk membumikan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat muslim pada khususnya.  

REFERENSI

http://anshori-pecintagadis.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html
http://www.taufikrahman.co.cc/2008/11/pendidikan-masa-politik-etis-di.html
Wahab, Rohidin, 2004, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Alfabeta.
Suwendi, 2004, Sejarah dan pemikiran pendidikan islam. Jakarta : PT grafindo Persada.
Mudyaharjo, Redja, 2001, Pengantar pendidikan, Jakarta : PT grafindo Persada.
Noer, Delian, 1991, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Asrohah, Hanun, 1992. Sejarah Pendidikan Islam Cet : 1;  Jakarta: Logos Wacana Ilmu.






[1] http://anshori-pecintagadis.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html
[2] http://www.taufikrahman.co.cc/2008/11/pendidikan-masa-politik-etis-di.html
[3] Drs Rohidin Wahab,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung:Alfabeta,2004) hal 17
[4] Suwendi, sejarah dan pemikiran pendidikan islam (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), hlm.85
[5] Redja Mudyaharjo, pengantar pendidikan (jakarta : PT Grafindo Persada, 2001 ), hlm.267
[6] Suwendi, sejarah dan pemikiran pendidikan islam (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), hlm.87
[7] http://lena-unindrabioza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-zaman-penjajahan.html
[8] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Cet : 1; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1992), hlm.160
[9] Delian Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm.95
[10] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Cet : 1; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1992), hlm.160

Hukum Perampasan Tanah

Hukum Perampasan Tanah

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ ظَلَمَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ، طَوَّقَهُ الله مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari Aisyah RA, bahwasannya Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa berbuat zhalim walaupun hanya (dengan mengambil) sejengkal tanah, maka pada hari kiamat nanti Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya.” (Muttafaq ‘Alaih)
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ زَيْدَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ: قَال رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعٍ أَرَضِيْنَ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari Sa’id bin Zaid RA, ia berkata,”Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa merampas sejengkal tanah secara zhalim, maka pada hari kiamat nanti Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya.” (Muttafaq ‘Alaih)
وَفِيْ لَفْضٍ لِأَحْمَدَ: مَنْ شَرَقَ.
Dalam lafazh Ahmad yang lainnya disebutkan dengan redaksi:
“Barangsiapa mencuri”
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ، طَوَّقَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ. (رَوَاهُ أَحْمَدُ)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa mengklaim sejengkal tanah yang bukan haknya, maka pada hari kiamat nanti Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya.” (HR. Ahmad)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَخَذَ مِنَ الْأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ، خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعٍ أَرَضِيْنَ. (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْبُخَارِيُّ)
Dari Ibnu Umar RA< ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, :Barangsiapa mengambil tanah yang bukan haknya walaupun sedikit, maka pada hari kiamat nanti ia akan ditenggelamkan ke dalam tujuh lapis bumi.” (HR. Ahmad dan Al Bukhari)
عَنِ الْأَشْعَثِ بْنِ قَيْسٍ: أَنَّ رَجُلًا مِنْ كِنْدَةَ وَرَجُلًا مِنْ حَضْرَمَوْتَ اخْتَصَمَا إِلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَرْضٍ بِالْيَمَنِ. فَقَالَ الْحَضْرَمِيُّ: يَا رَسُوْلُ اللهِ، أَرْضِيْ اغْتَصَبَهَا هَذَا وَأَبُوْهُ. فَقَالَ الْكِنْدِيُّ: يَا رَسُوْلُ اللهِ، أَرْضِيْ وَرِثْتُهَا مِنْ أَبِيْ. فَقَالَ الْحَضْرَمِيُّ: يَا رَسُوْلُ اللهِ، اسْتَحْلِفْهُ أَنَّهُ مَا يَعْلَمُ أَنَّهَا أَرْضِيْ وَأَرْضُ وَالِدِيْ اغْتَصَبَهَا أضبُوْهُ. فَتَهَيَّأَ الْكِنْدِيُّ لِلْيَمِنِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُ لاَ يَقْتَطِعُ عَبْدٌ أَوْرَجُلٌ بِيَمِيْنِهِ مَالاً إِلاَّ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ يَلْقَاهُ وَهُوَ أضخْذَمُ. فَقَالَ الْكِنْدِيُّ: هِيَ أَرْضُهُ وضأَرْضُ وَالِدِهِ. (رَوَاهُ أَحْمَدُ)
Dari Al Asy’ats bin Qais bahwa seorang laki-laki dari Kindah dan seorang laki-laki dari Hadhramaut mengadukan perselisihan mereka kepada Rasulullah SAW mengenai sebidang tanah di Yaman. Orang Hadhrami berkata, “Wahai Rasulullah, tanahku telah dirampas oleh orang ini dan ayahnya.” Orang Kindi pun berkata, “Wahai Rasulullah, aku mewarisinya dari ayahku.” Orang Hadhrami berkata, “Wahai Rasulullah, suruhlah agar bersumpah bahwa ia tidak mengetahui kalau itu adalah tanahku dan tanah ayahku yang telah dirampas oleh ayahnya.”Lalu orang Kindi itu hendak mengucapkan sumpahnya, namun Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, tidaklah seorang hamba atau seorang laki-laki mengklaim harta (orang lain), kecuali ia akan bersumpah dengan Allah dalam keadaan buntung – pada saat ia berjumpa dengan-Nya.” Maka orang Kindi itu berkata, “Tanah itu tanahnya dan tanah ayahnya.” (HR. Ahmad)
            Pensyarah Rahimakumullah Ta’ala mengatakan: Sabda beliau (Barangsiapa berbuat zhalim walaupun hanya (dengan mengambil sejengkal tanah), dalam riwayat Al Bukhari disebutkan dengan redaksi: “mematok sejengkal tanah”. Seolah-olah beliau mengisyaratkan bahwa sejengkal tanah itu adalah kadar yang sangat sedikit, namun ancamannya sangat besar. Hadits-hadits di atas menunjukkan besarnya siksaan kezhaliman dan perampasan, dan bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan yang odsa besar. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa barang tambang menjadi hak pemilik tanah, sehingga si pemilik berhak melarang orang lain menambang atau menggali di bawah tanahnya. Disebutkan dalam Al Fath: Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki tanah, maka ia juga memiliki apa yang dibawahnya (yang dikandungnya) hingga akhir tanah, dan ia berhak melarang orang lain membuat galian di bawahnya tanpa kerelaannya. Hadits ini juga menunjukkan, bahwa orang yang menjadi pemilik permukaan tanah, maka ia juga sebagai pemilik apa yang dikandungnya, yaitu berupa bebatuan, barang tambang dan sebagainya, dan ia berhak untuk membuat galian pada tanahnya sesukanya selama tidak menimbulkan madharat terhadap tanah sebelahnya. Hadits yang mengisahkan orang Hadhrami dan orang Kindi insya Allah akan dibahas pada bahasan tentang sumpah. Hadits ini menunjukkan bahwa bila diminta untuk bersumpah, maka sumpah itu berlaku. Dan Hakim hendaknya menasihati orang yang hendak bersumpah.  
عَنْ رَافِعِ بْنِ خُدَيْخٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ زَرَعَ فِيْ أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ، فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ، وَلَهُ نَفَقَتُهُ (رَوَا هُ الْخَمْسَةُ أِلاَّ النَّسَائِيَّ، وَقَالَ الْبُخَارِيُّ: هُوَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ)
Dari Rafi’ bin Khudaif RA. Bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa menanami tanah milik suatu kaum tanpa seizin mereka(pemiliknya), maka ia tidak berhak sedikitpun terhadap tanaman itu, dan ia berhak terhadap biayanya.” (HR. Imam yang lima kecuali An-Nasa’i, Al Bukhari mengatakan, “Hadits Hasan.”)

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ. قَالَ: لَقَدْ أَخْبَرَنِي الَّذِيْ حَدَّثَنِيْ هَذَا الْحَدِيْثَ، أَنَّ رَجُلَيْنِ اخْتَصَمَا إِلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، غَرَسَ أَحَدُهُمَا نَخْلاً فِيْ أَرْضِ الآخَرَ. فَقَضَى لِصَاحِبِ الْأَرْضِ بِأَرْضِهِ، وَأَمَرَ صَاحِبَ النَّخْلِ أَنْ يُخْرِجَ نَخْلَهُ مِنْهَا. قَالَ: فَلَقَدْ رَاَيْتُهُ، وَإِنَّهَا لَتُضْرَبُ أُصُوْلُهَا بِلْفُؤُسِ، وَإِنَّهَا لَنَخْلٌ عَمٌّ. (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالدَّارَقُطْنِيُّ)
Dari Urwah bin Az-Zubair, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menghidupkan tanah (menanami lahan mati yang tak bertuan), maka tanah itu menjadi miliknya, sedangkan perampas tidak berhak atas apa-apa.” Ia mengatakan, “Orang yang menceritakan hadits ini kepadaku telah memberitahuku, bahwa ada dua laki-laki yang bersengketa lalu mengadu kepada Rasulullah SAW, yang mana salah satunya telah menanam pohon kurma di tanah milik yang satunya lagi. Lalu beliau memenangkan si pemilik tanah karena tanahnya dan memerintahkan si pemilik pohon untuk mengeluarkan pohonnya ari tanah itu. “Ia melanjutkan, “Aku telah melihatnya, pohon itu telah ditebang dengan kapak, sungguh itu pohon kurma tinggio yang telah tumbuh sempurna.” (HR. Abu Daud dan Ad-Daraquthni)
            Pensyarah Rahimakumullah Ta’ala mengatakan: sabda beliau (maka ia tidak berhak sedikitpun terhadap tanaman itu, dan ia berhak terhadap biayanya) menunjukkan bahwa orang yang merampas tanah orang lain lalu menanaminya adalah seperti orang yang menanaminya untuk si pemilik tanah, makaa si perampas berhak menerima biaya tanaman dati memilik tanah. At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini diamalkan oleh sebagian ahli ilmu. Demikian menurut pendapat Ahmad dan Ishaq. “Ibnu Ruslan mengatakan, “Ahmad berdalaih dengan hadits ini dalam menyatakan bahwa barangsiapa menanam benih di tanah milik orang lain, lalu si pemilik tanah meminta tanahnya, maka ada dua laternatif: pemilik tanah meminta pengembalian tanahnya dan mengambilnya setelah panen, atau meminta pengembalian tanahnya sementara tanamannya tetap berada di tanahnya. Bila ia mengambilnya setelah panen, maka tanaman itu milik si perampas, tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini, karena itu adalah pengembangan hartanya. Dan ia berkewajiban membayar sewa tanah ketika menyerahkannya serta bertanggung jawab atas pengurangan tanahnya dan meratakannya kembali. Bila si pemilik mengambilnya dari si perampas ketika tanaman masih di tanahnya, maka ia tidak boleh memaksa si perampas untuk menebangnya, demikian menurut Abu Ubaid. Sedanhkan menurut Asy-Syafi’i dan mayoritas ahli fiqih, bahwa pemilik tanah berhak memaksa si perampas untuk menebangnya. Mereka berdalih dengan sabda Nabi SAW, “sedangkan perampas tidak berhak atas apa-apa”. Menurut mereka bahwa tanaman itu menjadi hak si pemilik benih, dan ia wajib membayar sewa tanah. Hadits “sedangkan perampas tidak berhak atas apa-apa” berkaitan dengan pohon yang sudah besar, sedangkan Rafi’ berkenaan dengan penanaman benih, sehingga kedua hadits ini diamalkan sesuai dengan kondisinya.”
            Sabda beliau Lalu beliau memenangkan si pemilik tanah...dst.) menunjukkan bolehnya menetapkan terhadap orang yang memnanami tanah milik orang lain tanpa seizinnya untuk menebangnya.
            Disebutkan di dalam Al Ikhtiyarat: Bila Muzara’ah atau musaqah atau Mudharabah gagal, maka pekerja berhak memperoleh bagian standar, yaitu yang biasa berlaku terhadap orang yang sepertinya, bukan upah standar. Bila pada kasus perampasan tanah kami mengatakan, bahwa bila ia menanamnya untuk pemilik tanah, maka pemilik tanah menanggung biayanya, maka kami pun mengatakan demikian pada muzara’ah yang gagal, karena tanaman itu menjadi milik si pemilik tanah, apalagi bila benihnya dari orang lain (penggarap).

Referensi
Alu Mubarak, Syaikh Faizal bin Abdul Aziz. 2006. Mukhtashar Nailul Authar. Jakarta: Pustaka Azzam. Hal: 238-243